Otoritas Jasa Keuangan

Otoritas Jasa Keuangan

Pasal 4 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyebutkan bahwa OJK dibentuk dengan tujuan agar keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan terselenggara secara teratur, adil, transparan, akuntabel dan mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil, serta mampu melindungi kepentingan konsumen maupun masyarakat. Pasal ini memperjelas tujuan dibentuknya OJK yang tidak hanya melakukan pengawasan prudential (kehati-hatian) bagi semua lembaga jasa keuangan di Indonesia, melainkan juga melakukan pengawasan market conduct sebagai upaya perlindungan konsumen bagi pengguna produk dan jasa keuangan.

Fungsi Otoritas Jasa Keuangan

OJK berfungsi menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan sebagaimana diamanatkan dalam pasal 5 Undang-Undang Nomor 21 tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan. OJK memiliki tugas utama sebagai otoritas yang melakukan pengaturan dan pengawasan terhadap beberapa sektor seperti:

  1. Kegiatan jasa keuangan di sektor Perbankan;
  2. Kegiatan jasa keuangan di sektor Pasar Modal; dan
  3. Kegiatan jasa keuangan di sektor Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan lainnya.

Baca: artikel terkait

Wewenang Otoritas Jasa Keuangan

otoritas jasa keuangan

Otoritas Jasa Keuangan juga memiliki beberapa wewenang seperti; (1) Pengaturan dan pengawasan mengenai kelembagaan bank, (2) Pengaturan dan pengawasan mengenai kesehatan bank, (3) Pengaturan dan pengawasan mengenai aspek kehati-hatian bank, (4) Pemeriksaan Bank.

Pengaturan dan pengawasan mengenai kelembagaan bank yang meliputi (1) Perizinan untuk pendirian bank, pembukaan kantor bank, anggaran dasar, rencana kerja, kepemilikan, kepengurusan dan sumber daya manusia, merger, konsolidasi dan akuisisi bank, serta pencabutan izin usaha bank, (2) 1.Kegiatan usaha bank, antara lain sumber dana, penyediaan dana, produk hibridasi, dan aktivitas di bidang jasa.

Pengaturan dan pengawasan mengenai kesehatan bank yang meliputi (1) Likuiditas, rentabilitas, solvabilitas, kualitas aset, rasio kecukupan modal minimum, batas maksimum pemberian kredit, rasio pinjaman terhadap simpanan dan pencadangan bank, (2) Laporan bank yang terkait dengan kesehatan dan kinerja bank, (3) Sistem informasi debitur, (4) Pengujian kredit (credit testing); dan (5) Standar akuntansi bank.

Pengaturan dan pengawasan mengenai aspek kehati-hatian bank, meliputi (1) Manajemen risiko, (2) Tata kelola bank, (3) Prinsip mengenal nasabah dan anti-pencucian uang; dan (4) Pencegahan pembiayaan terorisme dan kejahatan perbankan

Baca: artikel terkait

Pengawasan Sistem Keuangan

otoritas jasa keuangan

Dalam konteks sistem keuangan secara umum di suatu negara terdapat beberapa lembaga negara ataupun kementerian yang memiliki fungsi dan tugas untuk melakukan pengawasan sistem keuangan secara keseluruhan. Secara umum, terdapat tiga pilar pengawasan sistem keuangan yang ada di suatu negara yaitu;

  1. Kementerian Keuangan sebagai otoritas fiskal (pajak), dalam hal ini memiliki kewenangan untuk membuat kebijakan dan pengaturan di bidang fiskal.
  2. Bank sentral sebagai otoritas moneter, dalam hal ini memiliki kewenangan untuk membuat kebijakan dan pengaturan di bidang moneter khususnya yang terkait dengan nilai tukar dan inflasi.
  3. Otoritas stabilitas sistem keuangan, dalam hal ini memiliki kewenangan untuk melakukan pengaturan dan pengawasan makroprudensial dan mikroprudensial terhadap lembaga jasa keuangan. Dalam hal ini, pengaturan dan pengawasan yang terkait dengan stabilitas sistem keuangan dapat dilakukan oleh bank sentral secara individu maupun bersama-sama dengan otoritas sistem keuangan lainnya.

Pengawasan sistem keuangan di Indonesia tidak jauh berbeda dengan praktik yang dilakukan oleh negara-negara lain. Dalam hal ini, Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, dan OJK memiliki peranan yang besar dalam menjaga stabilitas sistem keuangan di Indonesia.

Pengawasan Makro dan Mikroprudensial

Pengawasan makroprudensial lebih mengacu pada stabilitas sistem keuangan secara menyeluruh terhadap industri jasa keuangan. Dalam melakukan pengawasan makroprudensial, pengawasan terhadap lembaga jasa keuangan tidak dilakukan secara individu namun dilakukan secara agregat. Di samping itu, pengawasan makroprudensial tidak mengawasi lembaga jasa keuangan atau industri jasa keuangan secara “an sich” (sendiri) semata, melainkan dikaitkan dengan variabel-variabel makroekonomi ataupun variabel-variabel moneter

Pengawasan mikroprudensial lebih fokus pada kinerja individu lembaga jasa keuangan termasuk konglomerasinya, apakah setiap individu lembaga jasa keuangan dan/ atau konglomerasinya sudah sehat, stabil, dan memiliki kinerja yang bagus. Dalam hal ini, pengawasan mikroprudensial memiliki peran yang penting bagi setiap individu lembaga jasa keuangan mengingat kelangsungan usaha setiap lembaga jasa keuangan harus dipantau secara terus-menerus dan sistematis. Kewajiban bagi setiap lembaga jasa keuangan adalah untuk menjaga tingkat kesehatan keuangan masing-masing agar secara keseluruhan atau agregat dapat mendukung terciptanya stabilitas sistem keuangan.

Newsletter

Berlangganan sekarang untuk dapatkan info artikel dan penawaran kursus yang baru dirilis lewat email

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

0
    Keranjang sedang kosongLIhat semua kursus
    Scroll to Top